
[Charirmasirfan.xyz – PkM] Bagi banyak akademisi di perguruan tinggi, pengabdian masyarakat adalah salah satu pilar Tri Dharma yang sering kali hanya dipandang sebagai “kewajiban administratif”. Mahasiswa dan dosen kerap menganggap kegiatan pengabdian sebatas program tahunan, seperti Kuliah Kerja Nyata (KKN), pelatihan, atau seminar di desa. Setelah selesai, laporan disusun, tanda tangan didapat, dan tugas dianggap rampung. Namun, apakah esensi pengabdian benar-benar tercapai?
Kenyataannya, ada jurang antara idealisme Tri Dharma dengan praktik lapangan. Menurut Tilaar (2004) dalam Paradigma Baru Pendidikan Nasional, pendidikan tinggi seharusnya tidak hanya menghasilkan pengetahuan, tetapi juga mengabdi untuk transformasi masyarakat. Sayangnya, pengabdian masih sering dilihat sebagai rutinitas, bukan refleksi filosofis tentang hubungan ilmu dan kemanusiaan.
Artikel ini mengajak pembaca – terutama akademisi dan praktisi pendidikan tinggi – untuk melihat pengabdian masyarakat dari sudut pandang filsafat pengabdian berbasis humanisme, agar pengabdian bukan hanya “kegiatan luar kampus”, tetapi menjadi jiwa pendidikan tinggi yang relevan dengan zaman.
Filsafat Pengabdian sebagai Jiwa Tri Dharma PT
Sebelum kita bicara solusi, penting memahami dasar filosofis mengapa pengabdian masyarakat tak bisa dilepaskan dari pendidikan tinggi. Filsafat pengabdian berfungsi sebagai “cermin reflektif” yang menanyakan: untuk apa ilmu itu diciptakan? dan siapa yang seharusnya merasakan manfaatnya?
Makna Filosofis Pengabdian
Secara filosofis, pengabdian bukan sekadar aktivitas sosial. Ia merupakan wujud dari etika ilmu pengetahuan. Menurut John Dewey (1916) dalam Democracy and Education, pendidikan bukan hanya proses transfer pengetahuan, melainkan upaya membangun hubungan timbal balik antara individu dan masyarakat. Dengan kata lain, ilmu harus kembali ke masyarakat yang membiayai, menopang, dan menjadi konteks lahirnya ilmu tersebut.
Dalam konteks Indonesia, Tri Dharma Perguruan Tinggi menegaskan bahwa pengabdian masyarakat setara pentingnya dengan pendidikan dan penelitian. Ketiganya bukan tiga jalan terpisah, melainkan simpul yang saling terhubung. Ilmu yang hanya berhenti di jurnal atau laboratorium ibarat lampu yang terang, tetapi hanya menerangi ruangan dosen; tidak ada gunanya jika masyarakat tetap gelap gulita.
Humanisme sebagai Fondasi
Humanisme adalah landasan filosofis utama dari filsafat pengabdian. Humanisme menekankan martabat, kebebasan, dan potensi manusia sebagai pusat nilai. Menurut Paulo Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed, pendidikan sejati adalah proses humanisasi, yakni bagaimana manusia menjadi sadar akan dirinya dan realitasnya, lalu mengambil tindakan untuk mengubah dunia.
Jika kita kaitkan dengan pengabdian masyarakat, maka aktivitas pengabdian bukan tentang “kampus membantu desa”, tetapi “kampus dan desa bertemu dalam kesadaran bersama”. Analogi sederhananya: ilmu adalah lampu, dan masyarakat adalah jalan. Apa artinya lampu jika hanya disimpan di gudang kampus? Lampu baru bermakna ketika menerangi jalan tempat orang berjalan.
Tantangan Pengabdian Masyarakat di Perguruan Tinggi
Meskipun gagasan filsafat pengabdian terdengar mulia, realitasnya tidak semudah itu. Banyak perguruan tinggi menghadapi tantangan dalam menjadikan pengabdian sebagai gerakan humanis yang nyata.
Antara Laporan Administratif dan Esensi Kemanusiaan
Salah satu masalah mendasar adalah dominasi logika administratif. Program pengabdian sering dilakukan karena ada kewajiban akreditasi, bukan karena dorongan filosofis. Laporan menjadi lebih penting daripada kebermanfaatan. Bahkan, ada ungkapan sinis di kalangan akademisi: “Yang penting ada dokumentasi, soal dampak itu urusan nanti.”
Dalam jurnal Higher Education (Barnett, 2012), disebutkan bahwa salah satu krisis universitas modern adalah “managerialism”, di mana aspek administratif lebih menonjol daripada visi humanistik. Ini yang membuat pengabdian kehilangan ruhnya.
Minimnya Relevansi dengan Konteks Sosial
Selain birokratisasi, masalah lain adalah kurangnya relevansi. Banyak program pengabdian bersifat “template”, tidak benar-benar memahami kebutuhan masyarakat. Misalnya, tim kampus datang ke desa untuk memberikan pelatihan digital marketing, padahal masalah utama desa adalah irigasi rusak atau akses listrik terbatas.
Analogi sederhananya seperti dokter yang sibuk menulis resep obat tanpa mendengar keluhan pasien. Akibatnya, resep itu mungkin tidak menyembuhkan, bahkan bisa tidak bermanfaat sama sekali.
Landasan Humanisme dalam Pengabdian
Untuk keluar dari jebakan administratif dan ketidakrelevanan, pengabdian masyarakat harus kembali ke landasan humanisme.
Ilmu untuk Kemanusiaan
Humanisme menekankan bahwa ilmu pengetahuan bukan tujuan akhir, melainkan alat untuk memperjuangkan kemanusiaan. Menurut Martha Nussbaum (2010) dalam Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities, pendidikan tinggi yang abai pada dimensi humanistik akan menghasilkan lulusan yang cerdas secara teknis tetapi miskin empati sosial.
Tips praktis: sebelum merancang program pengabdian, tanyakan satu pertanyaan sederhana – “Apakah ini benar-benar membantu orang?” Jika jawabannya tidak jelas, berarti program itu perlu direvisi.
Pendidikan Tinggi sebagai Agen Perubahan
Perguruan tinggi tidak bisa hanya menjadi “menara gading” yang jauh dari realitas sosial. Sebagai agen perubahan, kampus harus berperan sebagai mitra masyarakat. Metode partisipatif adalah kunci. Artinya, masyarakat dilibatkan sejak tahap perencanaan, bukan hanya menjadi objek penerima manfaat.
Contoh: Universitas Gadjah Mada (UGM) mengembangkan program KKN PPM (Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat) yang menekankan pendekatan partisipatif. Mahasiswa dan dosen tidak datang membawa solusi jadi, tetapi bersama masyarakat menganalisis masalah dan mencari solusi sesuai konteks.
Solusi Praktis Filsafat Pengabdian di Perguruan Tinggi
Setelah memahami dasar filosofis dan tantangan, pertanyaannya: bagaimana pengabdian masyarakat dapat dihidupkan kembali sebagai praktik humanis di perguruan tinggi?
Reorientasi Mindset Akademisi
Langkah pertama adalah perubahan mindset. Pengabdian bukan beban administratif, tetapi kesempatan menjadikan ilmu relevan dengan kehidupan nyata. Dosen dan mahasiswa perlu menyadari bahwa kontribusi kecil bisa sangat berarti.
Solusi praktis: kaitkan riset dengan problem riil. Misalnya, penelitian energi terbarukan bisa dihubungkan dengan program hemat listrik di desa terpencil. Dengan begitu, hasil riset tidak berhenti di jurnal, tetapi langsung dirasakan manfaatnya.
Integrasi Humanisme dalam Kurikulum
Humanisme perlu ditanamkan sejak mahasiswa memasuki bangku kuliah. Ilmu yang mereka pelajari harus dipahami sebagai alat pemberdayaan, bukan sekadar syarat kelulusan.
Praktiknya bisa melalui service learning atau pembelajaran berbasis pengabdian. Mahasiswa belajar teori di kelas, lalu langsung mengaplikasikannya dalam proyek sosial. Model ini terbukti meningkatkan empati sosial sekaligus memperdalam pemahaman teori (Eyler & Giles, 1999).
Kolaborasi Akademisi–Masyarakat
Pengabdian yang humanis tidak bisa berjalan satu arah. Solusinya adalah kolaborasi sejati: menciptakan program bersama masyarakat, bukan untuk masyarakat.
Analogi sederhananya: bukan “memberi ikan” atau “mengajari memancing”, tetapi “memancing bersama”. Artinya, ada dialog, saling berbagi pengetahuan, dan membangun kesadaran kolektif.
Dampak Filosofis dan Praktis dari Pengabdian Humanis
Jika perguruan tinggi benar-benar menghidupkan filsafat pengabdian berbasis humanisme, dampaknya bukan hanya administratif, tetapi juga transformatif.
Akademisi Lebih Relevan dan Bermakna
Bagi dosen dan mahasiswa, pengabdian yang humanis akan membuat ilmu terasa nyata. Tidak ada lagi jarak antara teori dan praktik. Penelitian bukan sekadar publikasi, tetapi solusi hidup.
Lebih dari itu, pengabdian membangkitkan motivasi intrinsik. Dosen merasa pekerjaannya bermakna, mahasiswa merasakan pengalaman hidup yang memperkaya.
Masyarakat Merasa Dihargai dan Diberdayakan
Bagi masyarakat, pengabdian yang humanis berarti mereka tidak lagi diperlakukan sebagai objek, tetapi sebagai mitra sejajar. Mereka merasa dihargai, didengarkan, dan diberdayakan.
Dampak jangka panjang: terbangunnya jembatan yang kuat antara kampus dan masyarakat. Perguruan tinggi tidak lagi dipandang asing, melainkan bagian dari komunitas sosial.
Penutup: Saatnya Menghidupkan Jiwa Filsafat Pengabdian
Pengabdian masyarakat bukan sekadar kewajiban formal dalam Tri Dharma, melainkan wajah kemanusiaan perguruan tinggi. Filsafat pengabdian mengingatkan kita bahwa ilmu sejati harus kembali ke masyarakat, dan humanisme adalah fondasi yang menjadikan pengabdian itu bermakna.
Tantangan memang ada – birokrasi, relevansi, dan mindset – tetapi dengan reorientasi filosofis, integrasi humanisme dalam kurikulum, serta kolaborasi sejati, pengabdian dapat menjadi gerakan transformatif.
Akhirnya, mari kita ingat satu hal: ilmu yang tidak menyentuh manusia hanyalah arsip di perpustakaan. Pengabdian menjadikannya napas kehidupan. Dan dari sanalah perguruan tinggi akan dikenang, bukan karena sertifikat akreditasi, tetapi karena jejak kemanusiaannya di tengah masyarakat.
FAQ tentang Filsafat Pengabdian Masyarakat
1. Apa yang dimaksud dengan filsafat pengabdian masyarakat?
Filsafat pengabdian masyarakat adalah pemikiran reflektif tentang tujuan dan makna pengabdian, di mana ilmu pengetahuan digunakan untuk kemanusiaan.
2. Mengapa humanisme penting dalam pengabdian di perguruan tinggi?
Karena humanisme menempatkan manusia sebagai pusat nilai, sehingga pengabdian tidak hanya formalitas administratif tetapi benar-benar bermanfaat.
3. Apa tantangan terbesar pengabdian masyarakat di perguruan tinggi?
Tantangan utama adalah birokratisasi, program yang tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat, dan mindset akademisi yang masih administratif.
4. Bagaimana cara mengintegrasikan filsafat pengabdian ke dalam kurikulum?
Dengan service learning, KKN tematik berbasis humanisme, serta riset yang diarahkan pada pemecahan masalah nyata di masyarakat.
5. Apa dampak pengabdian masyarakat yang berbasis humanisme?
Dampaknya adalah akademisi lebih relevan, mahasiswa lebih empatik, dan masyarakat merasa dihargai serta diberdayakan.
Leave a Reply